Tag Archives: review film

Review Film Bioskop The Running Man

Review Film Bioskop The Running Man. Film The Running Man versi 2025 yang disutradarai Edgar Wright baru saja tayang di bioskop sejak November lalu, dan langsung jadi bahan obrolan hangat di kalangan penggemar action dystopian. Adaptasi lebih setia dari novel Stephen King tahun 1982 (dibawah nama pena Richard Bachman), film ini bintangi Glen Powell sebagai Ben Richards—pria biasa yang nekat ikut game show mematikan demi selamatkan keluarganya. Bedanya dari versi Arnold Schwarzenegger 1987, ini lebih gelap, fokus survival di dunia nyata, bukan arena tertutup. Dengan durasi 105 menit, visual gritty, dan aksi relentless, review film ini campur satire media dengan thriller kejar-kejaran. Rating awal campur: 56/100 di Metacritic, 6.5/10 di IMDb—banyak puji Powell dan action-nya, tapi kritik Wright kurang keluarin flair khasnya. Ini popcorn movie yang entertaining, tapi nggak sepenuhnya memuaskan harapan tinggi.

Plot dan Eksekusi Sutradara Film The Running Man

Cerita berlatar 2025 dystopian di mana ekonomi ambruk, pemerintah otoriter, dan hiburan utama adalah The Running Man—game show di mana kontestan harus bertahan 30 hari dari pemburu profesional dan warga biasa yang tergiur hadiah. Ben Richards (Powell), ayah miskin dengan anak sakit, ikut show ini sebagai harapan terakhir, meski janji ke istrinya (Jayme Lawson) nggak akan. Produser licik Dan Killian (Josh Brolin) dan host flamboyan (Colman Domingo) manipulasi narasi, bikin Ben jadi musuh publik via propaganda AI. Ben kabur, bantu underground seperti podcaster (Daniel Ezra) dan gadgeteer (Michael Cera), sambil lawan hunters dipimpin McCone (Lee Pace).

Wright pilih pendekatan lebih faithful ke novel: nggak ada arena neon cheesy, tapi dunia nyata yang luas—dari kota kumuh sampe pesawat klimaks. Action-nya crisp: chase mobil dari perspektif bagasi, konfrontasi hotel brutal, dan running scene yang bikin deg-degan. Editing cepat ala Baby Driver, soundtrack bangers retro, dan visual retro-futurist steampunk bikin immersive. Tapi pacing awal rushed, finale terasa softened—King novel bleak nihilist, tapi ini lebih hopeful Hollywood, bikin satire-nya kurang gigit dibanding Robocop atau Starship Troopers.

Performa Aktor dan Elemen Pendukung Film The Running Man

Glen Powell carry film ini total—dari ayah desperate jadi pemberontak karismatik, ia bawa energi Top Gun tapi tambah grit. Chemistry-nya dengan side character solid, meski romansa kurang dieksplor. Josh Brolin licik sebagai Killian, Colman Domingo curi scene sebagai host showman, Michael Cera lucu sebagai geek paranoid, dan Lee Pace intimidating sebagai hunter utama. William H. Macy dan Emilia Jones tambah lapisan emosional sebagai helper underground.

Supporting cast kuat, tapi dialog kadang kaku—pun anjing atau one-liner terasa dipaksain. Visual dan sound design top: efek praktis gore entertaining, score Kirsten Lane campur orkestra dengan beat modern. Satire media dan reality TV ngena, terutama propaganda AI yang mirip dunia kita sekarang—tapi kurang dalam, lebih surface level dibanding novel King yang rage penuh.

Kesimpulan

The Running Man 2025 adalah action thriller solid yang lebih baik dari versi 1987 dalam fidelity ke sumber dan performa Powell, tapi kurang capai potensi sebagai Edgar Wright masterpiece—kurang witty editing, satire tajam, atau ending berani. Ini entertaining popcorn flick dengan aksi fun, pesan timely soal media manipulasi dan ketidakadilan, tapi terasa generic di beberapa bagian. Cocok buat fans dystopian atau Powell, skor 6.5/10: layak bioskop buat adrenalin, tapi nggak bakal jadi klasik abadi. Di akhir tahun penuh blockbuster, ini reminder: running dari realita kadang bikin kita lupa bayangannya sendiri.

Baca Selengkapnya Hanya di…

Review Film: My Worst Neighbor (2023)

Review Film: My Worst Neighbor Di tengah gempuran film blockbuster yang berat dan serius, sinema Korea Selatan kembali menawarkan penyegar dahaga melalui genre andalan mereka: komedi romantis yang ringan dan manis. My Worst Neighbor (judul asli: Binteumeonnuen Sai), yang dirilis pada tahun 2023, adalah film yang menyadari betul kekuatannya sebagai tontonan feel-good. Disutradarai oleh Lee Woo-cheol, film ini merupakan remake dari film Prancis tahun 2015 berjudul Blind Date.

Premisnya sangat sederhana namun sangat relevan dengan kehidupan kaum urban modern: masalah isolasi suara atau soundproofing yang buruk di apartemen murah. Cerita berfokus pada Seung-jin (Lee Ji-hoon), seorang calon penyanyi yang berjuang mengejar mimpi, dan Ra-ni (Han Seung-yeon), seorang desainer karakter yang sensitif terhadap suara. Keduanya terpisah hanya oleh satu dinding tipis yang membuat mereka bisa mendengar segala aktivitas tetangganya—mulai dari suara dengkuran, percakapan telepon, hingga nyanyian sumbang. Apa yang dimulai sebagai perang kebisingan antar tetangga, perlahan berubah menjadi salah satu kisah cinta paling unik di tahun ini.

Romansa Tanpa Tatap Muka Review Film: My Worst Neighbor

Daya tarik utama dan keunikan naratif dari My Worst Neighbor terletak pada konsep “cinta buta”-nya. Berbeda dengan rom-com standar yang mengandalkan pertemuan fisik dan kontak mata, film ini menantang kedua karakter utamanya untuk membangun chemistry hanya melalui suara. Dinding yang memisahkan mereka bukan hanya penghalang fisik, tetapi juga menjadi “jendela” pengakuan dosa.

Transisi hubungan mereka digarap dengan tempo yang pas. Awalnya, mereka saling meneror dengan suara—sebuah urutan adegan komikal di mana Seung-jin menyanyi dengan keras sementara Ra-ni membalas dengan suara hantu menangis. Namun, ketika gencatan senjata terjadi, dinding itu berubah fungsi menjadi teman bicara. Tanpa melihat wajah satu sama lain, mereka justru menjadi lebih jujur dan terbuka mengenai ketakutan, kegagalan, dan mimpi mereka. Film ini berhasil menangkap esensi keintiman emosional yang sering kali terlewatkan dalam hubungan fisik: kemampuan untuk benar-benar mendengar pasangan kita.

Chemistry Aktor dalam Isolasi

Tantangan terbesar dalam film ini jatuh pada pundak Lee Ji-hoon dan Han Seung-yeon (mantan anggota grup KARA). Sebagian besar adegan mereka dilakukan sendirian di ruangan masing-masing, berbicara pada tembok kosong. Namun, keduanya berhasil menghidupkan dinamika hubungan yang meyakinkan. Lee Ji-hoon tampil menawan sebagai pria yang sedikit ceroboh namun berhati hangat, sementara Han Seung-yeon berhasil menyeimbangkannya dengan karakter yang prickly (mudah tersinggung) namun sebenarnya kesepian. (berita musik)

Interaksi mereka terasa sangat natural, seolah-olah penonton sedang mendengarkan drama radio visual. Momen ketika mereka mulai menyelaraskan aktivitas sehari-hari—seperti makan malam bersama di balik tembok atau bernyanyi duet tanpa bertatap muka—adalah sorotan utama yang membuat hati penonton berdesir. Karakter pendukung, seperti teman-teman Seung-jin yang konyol, memberikan bumbu komedi yang pas tanpa mengalihkan fokus dari pasangan utama.

Realitas Mimpi Kaum Muda

Di balik balutan komedinya, My Worst Neighbor menyisipkan sub-plot yang menyentuh tentang perjuangan meraih mimpi di usia dewasa. Seung-jin digambarkan sebagai musisi yang terus gagal audisi dan dikejar tenggat waktu usia, sementara Ra-ni bergulat dengan pekerjaannya yang menuntut kreativitas namun sering diremehkan.

Dinding tipis apartemen mereka menjadi metafora bagi isolasi sosial yang dialami banyak anak muda yang merantau ke kota besar. Mereka hidup berhimpitan secara fisik, namun sering kali merasa sendirian secara mental. Film ini memberikan pesan optimis bahwa dukungan bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga—bahkan dari “musuh” di sebelah rumah. Lagu-lagu yang dinyanyikan Seung-jin dalam film ini bukan sekadar pemanis, melainkan narasi tentang harapan yang menghubungkan kedua karakter tersebut dengan impian mereka yang sempat tertunda.

Kesimpulan Review Film: My Worst Neighbor

Secara keseluruhan, My Worst Neighbor adalah tontonan yang sangat menyenangkan dan menghangatkan hati. Film ini tidak berusaha menjadi masterpiece sinematik yang rumit; ia tahu identitasnya sebagai hiburan ringan yang efektif. Meskipun plotnya mungkin mudah ditebak dan mengikuti formula enemies-to-lovers yang klasik, eksekusinya yang rapi dan penampilan para aktornya yang likable membuatnya sangat layak ditonton.

Bagi Anda yang sedang mencari film untuk melepas penat setelah hari yang panjang, atau sekadar ingin tersenyum melihat tingkah laku orang jatuh cinta yang konyol, film ini adalah pilihan yang tepat. My Worst Neighbor mengajarkan kita bahwa terkadang, untuk melihat seseorang dengan jelas, kita tidak perlu menggunakan mata, tetapi cukup dengan membuka telinga dan hati. Sebuah komedi romantis yang manis, lucu, dan penuh dengan nada-nada cinta yang harmonis.

review film lainnya ….